KUNINGAN - Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Kuningan (IPPMK) yang berlingkup di wilayah Jadetabek, menggelar Bincang Buku “Dilarang Gondrong: Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an” secara virtual, kemarin (31/10).
Kegiatan ini dikemas dalam Kajian Sore Mentereng (Kasreng), yakni kajian rutin yang diselenggarakan oleh IPPMK terkait isu kedaerahan maupun nasional. Bincang buku ini sendiri diisi dengan diskusi langsung bersama Aria Wiratma Yudhistira yang merupakan penulis buku tersebut.
Bincang buku terselenggara sangat interaktif, karena dari judul dan pembahasan sangat menarik. Banyak yang mengira buku ini membahas gaya hidup, tetapi Aria menegaskan buku tersebut membahas isu politik. Yakni menggambarkan bagaimana praktik kekuasaan pemerintah orde baru terhadap anak-anak muda pada waktu itu.
“Salah satu praktik kekuasaan (orde baru) tersebut yaitu terhadap gaya rambut. Kejadian miris tapi lucu, pemerintahan orde baru yang mengantitesiskan diri terhadap pemerintahan Soekarno, merasa fenomena rambut gondrong sebagai ancaman. Dengan dalih bahwa tujuan pembangunan harus didukung dengan situasi politik yang stabil, dan rambut gondrong dinilai sebuah pemberontakan,” kata Aria.
Pada orde baru, lanjut Aria, anak muda ingin diidialisasikan sesuai pemerintah saat itu. Karena anak muda dinilai sebagai estafet perjuangan yang telah digariskan, pemerintah merasa perlu mengontrol, membina, dan menyelamatkan anak muda dari berbagai macam gangguan dan pengaruh asing.
“Pada masa orde baru, sangat lazim berita koran berjudul ‘Tujuh Orang Berambut Gondrong Memperkosa’ atau hal serupa lainnya, yang seolah-olah mengidentikkan rambut gondrong dengan hal kriminal. Razia-razia pun terjadi dengan terang-terangan, baik di ruang privat maupun publik. Dari institusi kampus yang melarang mahasiswa gondrong ikut kelas dan ujian sampai adanya larangan tampil bagi anak muda berambut gondrong di stasiun TVRI,” ujarnya.
Menurut Aria, hal itu bukan hanya terjadi di pemerintahan pusat, tetapi di berbagai daerah di Indonesia juga terjadi. Ia mencontohnya di Sumatera Utara. Kala itu pemerintah menutup diri dari anak muda yang berambut gondrong.
Di Salatiga, anak muda berambut gondrong tidak mendapatkan layanan di kepolisian. Di Depok, anak muda berambut gondrong tidak boleh mendapatkan KTP dan surat bebas G30S PKI, padahal pada saat itu surat bebas G30S PKI merupakan syarat penting untuk bisa hidup nyaman.
“Razia-razia di ruang publik pastinya banyak menerima penolakan dan bentrok. Salah satu puncaknya, terjadi di Bandung, yakni bentrok antara pihak polisi dan mahasiswa ITB. Yang berusaha didamaikan dengan pertandingan sepak bola, yakni pada Oktober 1970, tetapi akhirnya terjadi keributan hingga terbunuhnya Rene Louis Coenraad, salah satu mahasiswa ITB oleh aparat kepolisian,” ujarnya.
Aria menegaskan, bila bicara soal rambut, sebenarnya memiliki sejarah cukup panjang. Bila pemerintah orde baru menganggap rambut gondrong bukanlah sebuah nilai bangsa.
“Sebenarnya banyak sekali dari tokoh-tokoh dahulu di masa kerajaan Indonesia memiliki rambut gondrong. Justru orang dari luar Indonesia-lah yang membawa stigma bahwa rambut perlu dirapikan, agar ada ciri gender bahkan merepresentasikan ketaatan beragama,” ungkap Aria.
“Sampai saat ini, stigma-stigma mengenai rambut gondrong warisan orde baru, masih memengaruhi kehidupan bermasyarakat di Indonesia,” imbuhnya. (muh)