KUNINGAN – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah melakukan unjuk rasa di Gedung DPRD Kabupaten Kuningan, Kamis (16/12). Mereka mengirim keranda mayat sebagai bentuk protes atas matinya nurani para wakil rakyat, terkait kenaikan tunjangan DPRD mulai 2022.
Namun unjuk rasa kali ini ricuh. Aksi saling dorong hingga benturan fisik antara mahasiswa dengan petugas pun tak terhindarkan. Kericuhan mulanya dipicu aksi pembakaran keranda mayat yang dibawa peserta unjuk rasa.
Saat pengunjuk rasa mulai membakar keranda mayat, petugas langsung bergegas untuk melakukan pemadaman. Karena merasa tidak terima untuk dilakukan pemadaman, akhirnya terjadi aksi saling dorong hingga sempat menimbulkan benturan fisik. Hanya saja, kericuhan ini tidak sampai berlangsung lama. Sebab mahasiswa akhirnya bersedia untuk memasuki Gedung DPRD Kabupaten Kuningan.
Sekretaris Umum IMM Kuningan Achmad Irsyad saat ditemui awak media mengatakan, aksi ini merupakan bentuk protes terhadap kenaikan tunjangan anggota dewan. Sebab tunjangan naik saat Kabupaten Kuningan masuk sebagai salah satu daerah dengan kemiskinan ekstrem.
“Kita fokus menyoroti kenaikan tunjangan, sebab naiknya itu di tengah kemiskinan ekstrem di Kabupaten Kuningan. Kita menilai bahwa ini adalah tindakan yang tidak etis untuk diberlakukan,” tegasnya.
Menurutnya, PP Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Hak Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD tidak serta merta menjadi acuan tunggal atas kenaikan tunjangan. Karena perlu juga mempertimbangkan aspek lain dalam pengambilan kebijakan tersebut.
“Karena tidak menjadi sebuah jaminan, akan berbanding lurus dengan peningkatan kinerja anggota dan pimpinan dewan secara signifikan dan nyata kepada masyarakat,” tandasnya.
Oleh sebab itu, pihaknya meminta agar tunjangan yang ditingkatkan harus berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Kinerja yang masih sangat jauh dari ekspetasi publik, perlu direalisasikan melalui program dan produk kebijakan secara nyata tanpa menjual janji manis.
Sementara itu, Ketua DPRD Kuningan Nuzul Rachdy SE mengungkapkan, aksi unjuk rasa tersebut merupakan bagian dari demokrasi. Sehingga mahasiswa diperkenankan masuk ke gedung dewan untuk beraudiensi langsung.
“Jadi saya jelaskan dari dua aspek yakni regulasi dan aspek etik. Apakah etis atau tidak anggota dewan ini menaikkan tunjangan di tengah situasi masyarakat serba sulit? Kalau regulasinya jelas bahwa tunjangan ini adalah hak protokoler pimpinan dan anggota DPRD, sesuai PP Nomor 18 Tahun 2017,” terangnya.
Namun untuk besaran kenaikan tunjangan, Ia menyebut, jika bukan anggota dewan yang meminta. Sebab besaran kenaikan itu dilakukan oleh tim appraisal.
“DPRD meminta tim appraisal yakni tim independen dari perguruan tinggi untuk mengkaji kepatutan dan kelayakan. Tim appraisal ini bukan pesanan, waktunya juga tidak sehari saat melakukan kajian tersebut,” ujarnya.
Soal etis atau tidak etis kenaikan di tengah kesulitan ekonomi masyarakat, Ia justru melihat, apabila sebanyak 50 anggota dewan memiliki tanggung jawab moril untuk membantu para konstituen di masing-masing daerah pemilihan.
“50 anggota dewan ini menyebar di semua desa, saat masyarakat sedang sulit, salah satu keluh kesah masyarakat itu kepada anggota dewan. Kalau dihadap-hadapkan antara kenaikan tunjangan dengan rakyat yang sedang menjerit, justru kami ini merespons. Sebab dengan tunjangan ini ya sebagian bisa kami donasikan kepada masyarakat,” jelasnya. (muh)