RADARKUNINGAN.COM - Sebanyak 30-an warga Kabupaten Kuningan dikirim Pemerintah Kolonial Belanda ke Suriname, Amerika Selatan pada periode 1921-1928.
Sejauh 18 ribu kilometer mereka mengarungi lautan dimulai dari Pelabuhan Tanjung Priok lantas transir di Belanda, sebelum tiba di Suriname.
Di tanah tak bertuan itulah, mereka bekerja selama 5 tahun. Meski tidak sedikit pula yang tidak kembali ke kampung halaman, pun setelah Indonesia merdeka.
Guyana Belanda, begitu mereka menyebut nama lain dari Suriname, sebuah wilayah koloni Belanda di Amerika Selatan yang berbatasan dengan Guyana Prancis dan Guyana.
Tadinya, Suriname adalah sebuah wilayah perkebunan dan pertanian yang ditempati warga asli.
Kemudian, Belanda mendatangkan warga dari Afrika sebagai buruh di Suriname. Namun, kontrak tersebut telah habis pada tahun 1863.
Sebagai imbas dari pemulangan buruh besar-besaran itu, ekonomi Suriname pun melorot tajam.
Sebagai sebuah wilayah koloni, tentu Pemerintah Belanda tidak tinggal diam. Kebetulan waktu itu, di Hindia Belanda juga dilakukan kebijakan cultuurstelsel alias tanam paksa.
BACA JUGA:Apakah Ular Kawat Boleh Dibunuh? Begini 4 Cara Membasmi Ular Kawat di Dalam Rumah, Auto Kabur!
Dengan pemberlakukan sistem tanam paksa oleh Van den Bosch pada tahun 1930 ini, perekonomian Belanda pun membaik.
Sudah bisa ditebak, sejak kebijakan itu diterapkan, neraca saldo dalam negeri di Hindia-Belanda relatif stabil. Setelah itu, kata sejarawan ME Ricklefs hutang VOC bisa segera dilunasi.
Penulis buku “The History of Modern Indonesia” itu menambahkan, bahkan dana-dana itu juga bisa digunakan untuk membayar ganti rugi pada tuan-tuan yang budaknya dibebaskan di Suriname.
Tahun 1881, pemerintah Belanda mengeluarkan aturan yang berkaitan dengan perekrutan tenaga kerja lokal. Aturan ini biasa disebut Koeli Ordonantie.