Cegah Karhutla, Bangun Embung Air di Gunung Ciremai

Cegah Karhutla, Bangun Embung Air di Gunung Ciremai

KUNINGAN–Kendati hujan mulai mengguyur Kabupaten Kuningan, namun upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Gunung Ciremai masih dilakukan. Salah satunya dengan membangun embung air di kawasan utara Gunung Ciremai. Selain petugas Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), beberapa relawan yang terlibat yakni Aktivitas Anak Rimba (Akar), Masyarakat Peduli Api (MPA), CDK Wilayah VIII dan Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan. Para relawan tak kenal lelah untuk mengadu martil dengan bebatuan hitam eks erupsi Gunung Ciremai. “Di jalur sekat bakar kuning sepanjang 14 kilometer ini, kami akan bangun satu sampai dua unit embung air berukuran kecil. Mungkin tak kurang dari sepuluh meter persegi,” kata Kepala Balai TNGC Kuningan, Kuswandono dalam keterangan persnya, kemarin (21/10). Menurutnya, embung air digunakan dalam operasi pemadaman kebakaran hutan. Selain itu, ketersediaan embung pun digunakan untuk penyiraman bibit tumbuhan.\"Jadi embung air itu punya fungsi ganda ya,” tukasnya. Dia mengaku masih cukup khawatir apabila kembali terjadi kebakaran di wilayah TNGC. Hanya saja, kebakaran di lahan hutan Gunung Ciremai tahun ini bisa dibilang unik karena terjadi secara berulang di blok lahan yang sama. “Kita masih saja kecolongan ya, karena kejadiannya berulang di lokasi yang sama, yakni di Blok Pejaten. Untuk tahun ini ada sekitar 2,6 hektare hutan yang terbakar,” ungkapnya. Kondisi lahan yang terbakar berada di lereng Ciremai bagian utara yakni wilayah Cirebon dan Kuningan. Sebab, di daerah utara kondisinya minim pohon besar, dominan alang-alang dan semak yang mengering ditambah lahan berbatu bekas erupsi Gunung Ciremai. Ditanya soal penyebab kebakaran, Ia mensinyalir salah satunya adalah akibat adanya aktivitas masyarakat yang masuk wilayah hutan, dan menimbulkan pemicu atau sumber api. “Diduga masuknya warga ke wilayah hutan di antaranya mereka yang mencari madu dan lainnya yang meninggalkan sumber api,” katanya. Ia mengimbau, agar warga yang masuk wilayah hutan tidak melakukan pembakaran, baik itu untuk mencari madu hutan atau land clearing dekat lahan wilayah TNGC. “Kita juga sedang melakukan upaya pemulihan ekosistem di lahan tersebut. Salah satunya, dengan upaya penanaman di wilayah bekas kebakaran,” tandasnya. Hanya saja upaya penanaman di wilayah tersebut terhambat kondisi lahan karena banyak berbatu. \"Caranya memang agak kompleks, kita perlu membuat media tanam tambahan, akibat kondisi lahan yang penuh bebatuan,” ucapnya. Sementara Fire Boss Agus Yudantara mengutarakan bagaimana beratnya proses pembuatan embung air tersebut. \"Jadi luar biasa ya, di tengah suhu udara siang yang panas begini, semua semangat bekerja. Saya salut,” pujinya. Agus menambahkan, selain cuaca panas, bebatuan yang mesti digali dan dipindahkan pun amat keras. \"Bila siang, cuaca panas dan bebatuannya keras. Mungkin kami akan genjot kerja selepas matahari sedikit redup hingga malam,” ujarnya. Menyaksikan tantangan panas dan hamparan bebatuan keras, nampaknya pembuatan embung air swadaya itu bukanlah pekerjaan mudah. “Kalem aja, sedikit demi sedikit. Perlahan kita selesaikan. Ke depan, secara perlahan lokasi tersebut akan ditanami pepohonan supaya lebih rindang dan tak terlalu panas,\" sebut salah seorang relawan. (ags)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: