Soal Pembangunan Batu Satangtung, MUI Sarankan Paseban Berdialog dengan Semua Pihak
KUNINGAN - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Kuningan turut menanggapi kekisruhan batu satangtung di sekitar kawasan Curug Goong, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur. MUI mengundang perwakilan masyarakat adat Cigugur untuk membicarakan permasalahan yang sampai menarik perhatian Komnas HAM tersebut. Dalam rilis yang diterima Radar, pertemuan MUI dengan perwakilan masyarakat adat Cigugur tersebut digelar di markas MUI lantai satu Masjid Syiarul Islam, Minggu (10/8) sekitar pukul 10.00 WIB. Hadir dalam pertemuan tersebut Ketua MUI Kuningan KH Dodo Syarif Hidayatullah, Sekum MUI Dr H Nurdin dan dari pihak Paseban Tri Panca Tunggal dihadiri Gumirat Barna Alam selaku pupuhu adat dan beberapa pengurusnya. Dalam kesempatan tersebut Ketua MUI KH Dodo bertanya tentang gonjang-ganjing berita yang beredar di masyarakat tentang pembangunan batu satangtung. Bagaimana awalnya dan mengapa sampai mengemuka sebagai kasus nasional? Pertanyaan ini dijawab langsung Gumirat Barna Alam selaku ketua Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur, bahwa pusara tersebut adalah wasiat dari ayahnya Djatikusuma selaku pemimpin komunitas penganut Sunda Wiwitan. \"Pembangunan batu satangtung itu merupakan wasiat dan amanat dari ayah Pangeran Djatikusuma. Ayah berpesan agar di atas pusaranya nanti dibuatkan tetengger atau ciciren berupa batu satangtung. Batu satangtung itu sendiri memiliki makna agar anak keturunannya berdiri di atas kekuatan dan potensi diri yang dimilikinya (nangtung di wanda sorangan) dan tidak melupakan jati diri dan muasal keberadaannya (purwadaksina),\" ungkap Gumirat. Gumirat mengaku memang pihak Paseban melakukan kesalahan di awal pembangunan dan pendirian tetengger tersebut. Dia tidak memberi tahu masyarakat sekitar dan tidak mengabarkan pula kepada pemerintahan setempat. Pihak Paseban tidak menempuh langkah itu karena beranggapan bahwa mereka membangun di atas tanah milik sendiri dan yang dibangun adalah tetengger makam. \"Namun, ternyata yang berkembang di luar dugaan. Pembangunan itu memicu polemik besar. Karena itulah kami meminta maaf kepada seluruh masyarakat atas kekhilafan ini. Semata-mata saya dan putra-putri Djatikusumah yang lain ingin menunaikan amanat ayah kami,\" ujar Gumirat. Terkait penolakan masyarakat yang dilandasi kekhawatiran tempat itu akan dijadikan tempat pemujaan, Gumirat menyatakan dengan tegas bahwa mereka tidak akan menjadikan tempat itu sebagai tempat pemujaan atau tempat ritual komunitas Penghayat Kepercayaan. Bahkan, dia menuturkan bahwa kakek buyutnya, yaitu Madrais, berwasiat agar tidak menjadikan pusaranya sebagai tempat pemujaan. “Teu meunang muja-muji munjung ka makam Uyut,”. Demikian pesan Madrais kepada keturunannya. \"Jadi, kami juga tidak akan menjadikan pusara Djatikusuma sebagai tempat pemujaan. Bahkan, kami siap membuat dan menandatangani pernyataan tidak akan menjadikan tempat itu sebagai pemujaan,\" papar Gumirat. Ditambahkan Kento, yang mendampingi Gumirat, batu dipilih sebagai media untuk tetengger karena mudah ditemukan dan awet. \"Teu gedag kalindihan, teu unggut kalinduan, teu leeh kapanasan,\" ujar Kento. Menanggapi penuturan Gumirat Barna Alam tersebut, Ketua MUI KH Dodo menyatakan bahwa masalah itu berkembang memunculkan berbagai asumsi yang berbeda-beda karena ketiadaan komunikasi. MUI sendiri tidak banyak berkomentar karena MUI merupakan lembaga fatwa serta lembaga pembinaan dan pengayoman umat. \"Hanya saja, MUI akhirnya terlibat dalam masalah ini karena berkembang asumsi-asumsi dan tafsir yang beragam mengenai batu satangtung sehingga menyangkut urusan akidah dan keyakinan umat Islam. Karenanya, MUI berharap agar pihak Paseban mau membuka komunikasi dan berdialog dengan semua pihak,\" ujar Kiai Dodo. Pihaknya juga berharap Pemkab Kuningan bisa memfasilitasi dialog antara Paseban dan segenap pihak lain, termasuk MUI Cigugur, masyarakat Desa Cisantana, Paroki, GKP, dan juga perwakilan pemerintah. Dalam pertemuan itu diharapkan agar pihak Paseban membuka seluas-luasnya dan seterang-terangnya mengenai pembangunan bakal pusara sesepuh mereka. \"Dengan demikian, diharapkan tidak berkembang lagi asumsi dan sangkaan yang liar berkaitan dengan masalah itu,\" ujarnya. Atas usulan tersebut, Gumirat mengamini dan menyampaikan kesiapannya untuk bertemu dan berdialog dengan semua pihak. Ia juga menyatakan bahwa sama sekali tidak terlintas sedikit pun pikiran dari dirinya maupun keluarganya untuk menjadikan pusara itu sebagai tempat pemujaan atau tempat ritual para penghayat kepercayaan. (fik)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: