KUNINGAN–Belasan perwakilan karyawan salah satu Perusahaan Otobus (PO) yang tergabung dalam Paguyuban Karyawan Putri Luragung Sahira (Pakapulus) dan Paguyuban Angkutan Kuningan (Paku), mendatangi gedung DPRD Kuningan, Selasa (6/4).
Kedatangan mereka guna mengadu sekaligus menyampaikan keluhan terkait adanya kebijakan pemerintah pusat, yang melarang kegiatan mudik Lebaran Idul Fitri, dengan pertimbangan Covid-19. Mereka merasa keberatan sekaligus menolak kebijakan tersebut, karena bisa merugikan, sebagaimana pernah dialami Lebaran tahun lalu.
Para pelaku angkutan bus ini berharap DPRD Kuningan dapat membantu mereka, agar armada bus dari Kuningan bisa tetap beroperasi mengangkut para pemudik saat musim Lebaran Idul Fitri tahun ini.
Upaya penolakan kebijakan larangan mudik itu ditunjukkan para pengusaha dan sopir bus dengan mendatangi gedung DPRD Kuningan, di Jalan RE Martadinata Desa Ancaran. Kedatangan mereka diterima langsung Ketua DPRD Nuzul Rachdy SE didamping jajaran Komisi III. Hadir pula Kepala Dishub Kuningan Drs Jaka Chaerul, beserta pihak Organda dan Polres Kuningan.
“Kami mohon kejelasan, jika mudik dilarang bagaimana nasib usaha kami. Padahal kami butuh penghidupan untuk para pegawai kami, apalagi menjelang hari raya (Idul Fitri),” kata Sudira, Ketua Pakapulus saat diwawancarai sejumlah jurnalis usai audiensi dengan DPRD.
Pihaknya meminta, agar semua angkutan bus yang ada di Kabupaten Kuningan dapat beroperasi hingga liburan mudik Lebaran tiba. Sehingga bus masih dapat mengangkut penumpang dari Kuningan menuju kota-kota besar seperti Jakarta, maupun arah sebaliknya hingga Lebaran tiba.
“Kalau misalkan aturan pemerintah tetap tidak bisa memberikan izin pengoperasian bus saat mudik, saya minta keadilan. Sebab tahun lalu angkutan bus di Kabupaten Kuningan itu dikarantina selama 2 setengah bulan. Ini sangat merugikan, karena jelas tidak ada penghasilan,” keluh Sudira.
Secara tegas, pihaknya menolak pemberlakukan larangan mudik tersebut. Ia kembali menyampaikan, dampak dari larangan mudik tersebut sangat terasa bagi pengusaha maupun sopir bus.
“Masyarakat juga sangat merasakan jika ada larangan itu, termasuk kami. Saya bukan membela karyawan bus, tapi memang semua masyarakat juga merasakan dampaknya,” keluhnya lagi.
Sudira pun mempertanyakan kenapa angkutan bus tidak boleh beroperasi, namun ternyata ada angkutan lain yang diduga travel gelap malah mengangkut pemudik dari luar daerah. Karena itu, pihaknya meminta keadilan agar ada penertiban terhadap keberadaan travel gelap tersebut.
“Kalau misalnya angkutan bus tidak boleh, ya sudah berarti travel-travel juga tidak boleh. Kami minta ketegasan petugas, kami sangat dirugikan,” pintanya.
Pihaknya berharap, agar pemerintah pusat bisa memberi kebijakan untuk angkutan bus supaya dapat beroperasi saat mudik Lebaran nanti. Sebab selama pandemi Covid-19, pendapatan yang diterima sopir bus mengalami penurunan yang sangat drastis.
“Sekarang pemasukan sopir bus turun, hari normal bisa mengangkut 50 orang, setelah pandemi untuk 10 orang saja susah. Ibaratnya sekarang itu kan mau ramai lah istilahnya, karena musim mudik, ternyata dilarang, ya bisa lebih parah lagi,” tutur Sudira.
“Kami minta tolong lah, karena untuk setoran saja susah. Saya kan biasanya sekali jalan itu harus bisa dapat Rp1,8 juta, tapi sekarang untuk yang wajib saja setoran Rp500 ribu itu susah,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua DPRD Kuningan Nuzul Rachdy SE, menyebut kebijakan pusat terkait larangan mudik tersebut merupakan kebijakan yang dilematis, karena ada pihak yang dirugikan, salah satunya perusahaan otobus. Sebab di satu sisi kesehatan merupakan hukum tertinggi yang harus diputuskan, namun di lain pihak kebijakan itu pasti ada pihak yang akan dikorbankan.