Prof I Gde Pantja : Saya Ingin Menengahi

Prof I Gde Pantja : Saya Ingin Menengahi

KUNINGAN–Hadirnya pakar hukum tata negara yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Unpad Bandung, Prof Dr I Gde Pantja Astawa SH MH dalam rapat Bamus DPRD Kuningan, Rabu (11/11) telah menimbulkan perbedaan pandangan. Padahal, kehadiran Prof Pantja ini, bertujuan untuk menengahi persoalan diksi “limbah”. Saat diwawancarai sejumlah media di ruang Ketua DPRD Nuzul Rachdy SE, Prof Gde Pantja membeberkan bahwa kehadirannya dalam agenda rapat Bamus tersebut atas undangan resmi dari Ketua DPRD sekaligus merangkap Ketua Bamus DPRD Kuningan, Nuzul Rachdy. Ia kemudian menjelaskan kepada para wartawan, terkait kasus diksi “limbah” yang telah diputus BK, dengan merekomendasikan Nuzul Rachdy sebagai teradu, agar diberhentikan dari Ketua DPRD. “Ya, ini sebetulnya bisa memberikan tafsir, dalam arti yang tidak menimbulkan interpretasi macam-macam. Tentu saja mereka yang ahli di bidang bahasa. Diksi ‘limbah’ ini, sepanjang yang saya baca dari pendapat para ahli, harus dilihat dalam konteks secara keseluruhan. Gak bisa secara parsial hanya istilah limbah itu saja. Kesannya kan dipelintir. Ini harus dilihat dalam konteks apa istilah limbah ini dimunculkan,” kata Prof Pantja. Istilah limbah tersebut, lanjut dia, jika tidak dikaitkan konteksnya apa, maka serta merta akan menimbulkan kemarahan. Sepanjang yang didengarnya dari wawancara Ketua DPRD Nuzul Rachdy, ada kalimat jangan sampai. Itu artinya sebuah kalimat imbauan. Menurutnya, akan berbeda ketika menyampaikan pendapat di depan media, dengan mengatakan bahwa institusi ini memproduksi limbah. Sehingga maknanya pun akan berbeda. “Sekali lagi, karena istilah ini tidak dilihat konteksnya, apakah konteks ini dalam rangka menuduh atau mengimbau? Karena itu saya kembalikan kepada pendapat ahli bahasa. Yang saya dengar dalam wawancara itu, ketika saya dihadapkan dalam wawancara video, saya simak, serta merta saya katakan, oh ini keceplosan ngomong, ketika itu ketua dewan tidak bernada atau tidak punya niat, karena keseleo lidah,” ujarnya. Yang penting, lanjut Prof Pantja, dalam perkataan tersebut harus dilihat apakah ada niat jahat, atau dalam bahasa hukum pidananya adalah mens rea. Sehingga, semestinya begitu cara dalam memahami atau memaknai suatu ucapan, apalagi suatu tindakan. “Beda misalnya antara orang atau mens rea-nya jahat, akan berbeda dibandingkan dengan tidak ada kesengajaan. Ini dua hal yang berbeda,” ujarnya lagi. Kedatangannya ke DPRD Kuningan, lanjut Prof Pantja, karena diundang resmi oleh Ketua DPRD Nuzul Rachdy, yang tentu saja ex officio sebagai Ketua Bamus. Karena diundang, makanya ia datang. Kedatangannya ternyata menimbulkan perbedaan pendapat di antara anggota Bamus yang hadir. Ia menceritakan dinamika yang terjadi di ruang rapat Bamus, kemarin. Ada yang berpendapat karena Bamus merupakan AKD, maka sifatnya internal. Awalnya, kata dia, Ketua DPRD mengatakan bahwa sidang itu terbuka untuk umum, sehingga wartawan pun hadir. Setelah diprotes, akhirnya diralat dan tertutup. Sehingga media keluar. “Nah, kenapa saya tetap di situ, mestinya saya juga keluar kan? Ya karena saya diundang, saya menghargai dulu. Kecuali pimpinan sudah memutus, Prof karena ini internal, dipersilakan untuk meninggalkan tempat. Oh dengan senang hati saya keluar. Itu sebabnya kemudian saya diam. Sama sekali saya tidak memberikan komentar apapun atas perbedaan pendapat yang terjadi tadi, saya simak,” tuturnya. Yang penting, menurut Prof Pantja, bukan bermaksud dirinya berkeinginan kuat untuk tetap ada di ruang rapat Bamus, namun karena ia menghormati undangan. Saat hadir itu, ia mengaku mempunyai niat membawa kebaikan untuk semua pihak, atau ia menyebut ingin mendamaikan dan menyejukkan semua pihak. “Nah, bagaimana mereka tahu kalau saya belum diberi kesempatan untuk berbicara. Dengan kata lain misalnya, sudah muncul praduga, suudzon. Jangan-jangan kehadiran Prof ini karena yang mengundang itu ketua, dikesankan saya akan membela beliau. Saya ini akademisi, berpegang pada etika profesi, harus objektif. Karena saya orang hukum, saya berpegang pada aturan, gak mungkin saya ngarang-ngarang sendiri,” katanya. “Termasuk ketika anggota BK, kecuali ketuanya gak datang, ke Bandung menemui saya langsung. Saya juga sampaikan di situ secara objektif, bahkan saya berikan warning, hati-hati memutus kasus dugaan pelanggaran kode etik ini. Karena khawatir akan menimbulkan kehebohan. Jadi, harusnya bagaimana? (BK) bijak. Coba tanya ke anggota BK yang datang ke saya, hati-hati,” imbuhnya. Yang dijadikan acuan untuk memeriksa teradu, menurut Prof Pantja, adalah peraturan Tatib dan Peraturan DPRD tentang Kode Etik, untuk memeriksa teradu. Termasuk peraturan DPRD tentang Tata Beracara. Semuanya itu tidak boleh disimpangi. “Nah, karena mereka (BK, red) kebetulan bawa aturannya ini semua, kemudian saya disodorkan bunyi pasal-pasal yang akan dipakai. Saya kritisi di situ. Termasuk sanksi akan dijatuhkan ketika itu, saya bilang hati-hati ini. Ini saya lihat rumusannya gak bener,” ucap Prof Pantja, seraya mempersilakan wartawan menanyakan kembali hal itu kepada BK. Bahwa kemudian BK memutuskan tidak sesuai dengan sarannya, menurut Pantja, itu adalah hak mereka. Hanya saja ketika putusan BK ini dibacakan tanpa kehadiran teradu, kemudian ada yang mewawancarainya dari salah satu media, dan kemudian dikutip oleh berbagai media lainnya, maka dia mengatakan bahwa putusan BK dibacakan tanpa kehadiran teradu, padahal itu mutlak harus hadir, itu batal demi hukum. “Saya katakan kalau putusan BK dibacakan tanpa kehadiran teradu, padahal itu mutlak harus hadir, maka ini batal demi hukum. Sama dengan membacakan putusan terhadap angin, lho orangnya gak ada kok,” tegasnya. Ditanya dalam kapasitas apa dirinya diundang hadir pada rapat Bamus DPRD, ia menyebut dalam undangan tidak disebut dalam rangka apa. Hanya diundang di Rapat Bamus. “Justru anggota mempertanyakan, karena ini rapat Bamus yang merupakan AKD, maka sifatnya internal. Tidak salah mereka ngomong begitu, aturannya memang begitu. Cuma kenapa saya harus dipersoalkan, orang saya diundang kok. Beda kalau saya datang tanpa diundang. Saya diundang resmi kok. Dalam kapasitas apa, saya gak tahu,” sebut Prof Pantja. “Hanya dalam undangan untuk hadir di rapat Bamus. Kemudian mereka mempersoalkan kehadiran saya. Dalam pembukaan sudah disampaikan sama Pak Ketua. Bahkan bukan hanya saya yang diundang, Suwari juga diundang, cuma dia gak bisa datang, gak tahu alasannya apa,” imbuhnya. Kendati demikian, Prof Pantja kemudian menjelaskan, maksud Ketua DPRD mengundangnya untuk hadir di rapat Bamus, termasuk ketua juga mengundang Dr Suwari SH MH selaku ahli dari Uniku, karena dua-duanya dimintai pendapat sebelum BK mengambil keputusan. “Suwari diundang dalam kapasitas sebagai ahli. BK juga datang ke Bandung, cuma saya gak dipanggil ke sini. Mereka jemput bola ke Bandung. Itu maksudnya, barangkali dengan kehadiran dua ahli ini biar fair gitu lho. Tidak ada maksud untuk memengaruhi putusan (BK) yang sudah diketok palu, gak ada. Apa urusan saya merecoki lagi putusan itu,” tuturnya. Saat hadir di rapat Bamus, ia memiliki niatan baik, sehingga persoalan tersebut tidak berlarut-larut, sehingga tidak terjadi baku hantam dalam perbedaan pendapat. “Itu maksud saya. Nanti akan saya tengahi dari sisi hukum. Ini lho Pak, seharusnya begini, tanpa memihak siapapun. Itu maksud saya nanti. Ternyata mereka mempersoalkan kehadiran saya, ya saya mau ngomong apa,” ujarnya lagi. “Makanya tadi saya bilang kepada Pak Ketua, Pak, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak, daripada kehadiran saya berlarut-larut, mendingan saya mengalah,” kata Prof Pantja. (muh)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: