“Hai Ibrahim, hendak ke mana engkau? Akan kah kau tinggalkan kami berdua di lembah tak berpenghuni dan sunyi ini?” kata Hajar heran sambil mengejar suaminya. Ibrahim hanya diam dan terus melangkah.
Hingga berkali-kali Hajar bertanya namun tak juga ada respons, ia pun berkata, “Apakah Allah yang memerintahkanmu?” “Betul,” jawab Ibrahim singkat.
“Baiklah. Kalau begitu, Allah tidak mungkin membuat kami sengsara,” timpal Hajar meneguhkan.
Sang istri, Hajar pun kembali ke tempat semula. Sesampainya di tikungan, Ibrahim menoleh ke tempat ia meninggalkan istri dan anaknya.
BACA JUGA:25 Perusahaan Ramaikan Job Fair Kuningan
Beliau pun berdoa agar kedua orang yang ia sayangi itu selalu berada dalam ketakwaan, tetap dijaga oleh Allah, dan diberi kecukupan rezeki (QS. Ibrahim [14]: 37).
Berselang beberapa waktu, Hajar mulai lapar dan haus hingga tidak lama berselang bekal yang dititipi Ibrahim habis.
Air susunya juga sudah kering hingga Ismail kecil mulai menangis. Dirinya mulai panik dan menaiki Bukit Shafa untuk melihat ke lembah, barangkali menemukan orang yang bisa ia mintai tolong.
Tak mendapati siapa-siapa, Hajar pun lari ke Bukit Marwah untuk melihat lagi ke lembahnya berharap ada yang bisa dimintai bantuan. Namun tetap saja kosong.
BACA JUGA:Puluhan Guru Penggerak Ikut Lokakarya Angkatan 9
Ia melakukannya sebanyak tujuh kali. Kelak napak tilas Hajar ini menjadi rukun haji yang dinamakan Sa’i. Singkat kisah, Hajar mendengar seperti ada suara gemercik air.
Semula ia mengira itu halusinasi belaka, hingga kemudian melihat ke sumber suara, dan ternyata ada sosok malaikat mengorek sesuatu dengan sayapnya di samping Ismail hingga keluarlah air.
Beliau pun menghampiri sumber air itu dan mengumpulkannya, “Zammî Zammî! (berkumpullah-berkumpullah!),” terikatnya kegirangan. Inilah yang menjadi sejarawah awal Air Zam zam.
Sejak saat itu sumber air tersebut dinamakan Zamzam. (Ibnu Katsir, Qashashul Ambiyâ’, 2018: 109-110).
BACA JUGA:Hotman Paris Holywings Sowan ke KH Cholil Nafis, Minta Maaf
Sementara itu, Sumur Zamzam pernah hilang waktu Makkah kedatangan dua suku besar dari Yaman, yaitu Kabilah Jurhum di bawah pimpinan Mudhadh bin Amr dan Kabilah Qathura bin Karkar di bawah pimpinan As-Samaida’ bin Hautsar.