Komisi 2 DPRD Panggil BTNGC
KUNINGAN – Isu perubahan status Taman Nasional Gunung Ciremai menjadi Taman Hutan Raya (Tahura), menggelinding ke gedung parlemen. Komisi 2 DPRD Kuningan memanggil pihak Balai Taman Nasional Guning Ciremai (BTNGC) untuk diminta penjelasan, Senin (10/2). Hadir dalam pertemuan itu, jajaran BTNGC dipimpin Kuswandono SHut MP, LSM Aktivitas Anak Rimba (Akar), Walhi Jabar, Fakultas Kehutanan (Fahutan) Uniku, dan beberapa pihak lainnya. Sayangnya, dalam pertemuan ini tidak terlihat pihak dari Pemkab Kuningan, dan hanya ada beberapa perwakilan warga Cisantana. Hampir dari seluruh yang hadir dalam pertemuan itu, secara tidak langsung tidak setuju atas kehendak Pemkab Kuningan untuk mengajukan penurunan status TNGC ke Tahura. Berbagai alasan pun disampaikan, salah satunya dari sekian daerah, Tahura tidak berhasil sebagaimana yang diharapkan. Dengan demikian, mereka meminta agar pemkab mengurungkan niatnya untuk mengajukan penurunan status tersebut. Ketua Komisi 2 DPRD H Julkarnaen SSos, meminta agar pihak BTNGC menjelaskan sikap apa yang dilakukan terhadap adanya keinginan Pemkab Kuningan untuk menurunkan status TNGC menjadi Tahura. Mengingat adanya riak yang saat ini terjadi menandakan adanya sesuatu. Kepala BTNGC Kuswandono menyatakan, pihaknya susah untuk menjawab, karena yang ia rasakan selama ini perjalanan TNGC baik-baik saja. “Susah juga kami menjawab, karena kami merasa selama ini baik-baik saja. Kami sudah ditunjuk (oleh pemerintah pusat), bahkan Tahura pun bilamana jadi, tetap nanti sebagai hutan konservasi dan yang mengelolanya tetap pemerintah pusat,” jelasnya. Khusus Tahura, lanjut Kuswandono, memang diakuinya harus dikelola oleh pemda. Hanya saja kawasan Ciremai ada di dua wilayah kabupaten, yakni Kuningan dan Majalengka, dan yang mengelola jika jadi Tahura, adalah dishut (dinas kehutanan). “Tapi di kabupaten (dishut) tidak ada, otomatis (yang mengelola) oleh dinas di provinsi,” terangnya seraya kembali menjelaskan tujuan awal dibentuk TN hingga tahapan pengelolaan berjalan. Ikut menanggapi, Wahyudin Iwan dari Walhi Jabar. Menurutnya, titik tekan dari masalah tersebut adalah soal konservasi. Bila mengacu terhadap SK Menhut dan UU 5/1990 tentang konservasi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, di antaranya menjamin terpeliharanya sistem ekologis, mengendalikan cara pemanfaatan dan juga fungsi konservasi. “Refleksinya, soal PAD (pendapatan asli daerah) dan lain-lain, hak dasar memang harus dipertimbangkan. Viralnya status TNGC menjadi Tahura, menurut kami ini politis, karena tidak substansi membahasnya. Bagaimana keterlibatan warga lokal, bagaimana investasinya. Saya semangatnya tidak menurunkan substansi, tapi yang terpenting adalah fungsi konservasi, karena pada praktiknya Tahura tidak berhasil,” sebutnya. Pernyataan berikutnya disampaikan Kepala Seksi Wilayah I Kuningan TNGC San Andre Jatmiko SHut. Dijelaskan, BTNGC dibentuk setelah tata batas dilakukan oleh Dirjen Kemenhut RI. Terlebih yang menjadi panitia tata batas saat itu adalah Bupati Kuningan, dengan sekretarisnya dari Balai Pembenihan Tanaman Hutan (BPTH), dan dalam penanganannya harus melibatkan seluruh camat. “Dokumen lama itu lengkap, ditandatangani bupati dan camat-camat wilayah setempat. Termasuk untuk tahap berikutnya, ada penataan zonasi, kami diwajibkan berdasarkan peraturan untuk konsultasi publik, tentunya mengundang pemda. Bahkan konsultasi publik ini, salah satu narsumnya dari Bappeda karena harus menyinkronkan RTRW,” jelas Andre. Ketika muncul kembali wacana sejauh mana pemda bisa masuk ke wilayah TN, pihaknya mengaku sudah bekerja untuk bagaimana TN ini milik pemda. Namun jika ingin sama-sama memanen buahnya, kata Andre, bagaimana agar ada alatnya, sehingga tidak perlu memotong ranting, cabang, apalagi ditebang pohonnya. “Beberapa tahun ini ada peningkatan pendapatan pariwisata untuk bagaimana mendongkrak PAD. Kami sudah koordinasi dengan Disporapar, bagaimana pengelolaan wisata ini, dan bagaimana pengelolaan parkir-parkir, dan lain-lain. Kunjungan ribuan (wisatawan) itu semua tidak masuk ke TN, tapi akan juga diterima warga sekitar Gunung Ciremai,” sebutnya. Di lain pihak, Dedi Gejuy selaku Ketua Dewan Daerah Walhi Jabar yang ikut hadir dalam pertemuan itu, menyampaikan terkait penurunan status tersebut, ia sama sekali tidak mempercayainya begitu saja. Termasuk ia menyoroti pernyataan setuju dari Wagub Jabar Uu Ruzhanul Ulum agar dipertimbangkan kembali. “Harapan kami, ada masukan kepada pimpinan rapat, bagaimana polemik ini dikaji kembali di internal DPRD, kawan-kawan di eksekutif agar bertahan dulu, jangan membuat rencana, karena ini masih mentah,” harap Dedi. Pendapat kontra terhadap Tahura, juga disampaikan Dekan Fahutan Uniku Dr Toto Supartono. Ia kembali meluruskan bahwa yang dimaksud bukan perubahan status, melainkan perubahan fungsi sesuai dengan PP 104/2015. “Kami bukan dalam kapasitas mendukung BTNGC, kami dari kalangan akademisi, memiliki tanggung jawab sosial untuk meluruskan. Dari penelitian kami, dengan TNGC fungsinya lebih baik,” kata Toto. Perlu diketahui, lanjut Toto, yang namanya Tahura fungsi utamanya adalah untuk koleksi satwa. Sementara Kuningan sendiri saat ini sudah memiliki Kebun Raya Kuningan (KRK), sehingga tidak perlu lagi ada Tahura di kawasan Ciremai. “Harapan saya, sebaiknya mari kita duduk bersama, cari jalan tengah. Ini ada sisi positifnya kenapa jadi seperti ini,” ajak Toto, seraya mengatakan dulu Fahutan Uniku ikut andil dalam pengusulan hutan lindung Ciremai jadi TNGC. Ia bersyukur karena hingga saat ini yang dilihatnya pengelolaan Ciremai banyak melibatkan masyarakat. (muh)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: