Zona Tradisional Ciremai, Usulan Masyarakat Sesuai Aturan

Zona Tradisional Ciremai, Usulan Masyarakat Sesuai Aturan

KUNINGAN - Paguyuban Silihwangi Majalengka-Kuningan (Majakuning), yang beranggotakan Kelompok Tani Hutan (KTH) di 23 desa penyangga kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), semakin gigih memperjuangkan suara masyarakat untuk mendapatkan haknya, yakni Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).

Ketua Paguyuban Silihwangi Majakuning Eddy Syukur bersama Sekretaris Jejen Fahrozi, menemui anggota KTH dan kades dari 6 desa penyangga Ciremai wilayah Kuningan Selatan di Aula Curug Sawer Desa Cisantana Kecamatan Cigugur, Kamis (30/3) siang. Di antaranya Desa Cisantana, Sagarahiang, Karangsari dan Gunungsirah.

“Pertemuan kali ini silaturahim. Kemudian sosialisasi tentang Peraturan Dirjen KSDAE Nomor 6 Tahun 2018 tentang HHBK. Supaya tidak ada salah paham dan gagal paham. Ini semua keinginan murni dari masyarakat zona penyangga, melalui Kelompok Tani Hutan. Supaya kita mengawal, sesuai aturan yang berlaku, tentang revisi zona tradisional di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai,” kata Eddy.

Di hadapan KTH, Eddy menyampaikan bahwa aturan ini  jelas dan pasti legal, yang mengatur petunjuk teknis kemitraan konservasi, pada suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Anggota KTH diharapkan memaklumi isu pro kontra yang berkembang saat ini di Kuningan, sebagai bagian dari kebebasan berpendapat.

Pemungutan HHBK yang diusulkan, menurut Eddy, tentu berdasarkan 5 prinsip, yakni evidence base yang faktual dari mulai sejarah adanya tanaman komoditi yang bisa dimanfaatkan. Kemudian Scientific Base, yakni pelaksanaan kemitraan tersebut berdasarkan atas keilmuan, kajian komprehensif, serta adanya analisa yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Lalu experience base, yakni HHBK telah dilakukan di tempat lain. Seperti di sejumlah Taman Nasional, di antaranya TN Halimun Salak, Gunung Gede Pangrango dan sejumlah TN lainnya.

“Pola kemitraan ini, dulu sebelum menjadi Taman Nasional sudah diterapkan bersama masyarakat. Sekarang kita lihat keberadaan pohon pinus, awalnya itu bukan tanaman Perhutani, bukan tanaman pemerintah, melainkan tanaman masyarakat,” tegasnya.

Pola kemitraan ini lanjut dia, sangat menganut precautionary, atau prinsip kehati-hatian. Seperti menjaga hutan dari kerusakan dan kebakaran. Sosialisasi juga mempertegas pemungutan HHBK oleh masyarakat di Desa Penyangga tak akan merusak hutan, justru masyarakat akan menjaga hutan.

Sementara itu, Sekretaris Paguyuban Jejen Fahrozi, berkomitmen memperjuangkan dengan konsisten kebutuhan masyarakat akan keberadaan zona tradisional. Dirinya mengajak masyarakat KTH, pemerintah daerah, untuk mendorong bagaimana perubahan zona tradisional ini diresmikan di TNG Ciremai.

“Karena perubahan zona ini kebutuhan semua pihak, jadi bukan hanya zona tradisional, ada juga zona religi, budaya bahkan zona khusus. Jadi dengan pertemuan kami bersama KTH kali ini, tidak usah risau, tidak usah ragu. Adanya pro kontra itu biasa. Itu yang paling utama, tetap jaga keutuhan, karena kita sama-sama bersaudara,” terangnya.

Menurutnya, 23 KTH di paguyuban telah terdidik selama 17 tahun, telah memahami kaidah konservasi.

“Kami dari Paguyuban Silihwangi Majakuning, seluruh masyarakat Majalengka dan Kuningan mari bersama sama bahu membahu, memberikan saran pandangan dan lainya, supaya Gunung Ciremai ini bisa terkelola dengan baik, kolaboratif dan partisipatif, selain menjaga kelestarian, tapi juga membawa manfaat untuk kesejahteraan bersama,” pungkas Jejen. (muh)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: