KUNINGAN, RADARKUNINGAN.COM— Keputusan Pemerintah Kabupaten Kuningan untuk mencabut moratorium pembangunan perumahan di Kecamatan Kuningan dan Cigugur menuai kritik dari Masyarakat Peduli Kuningan (MPK).
Menurut aktivis MPK, Yudi Setiadi dan Yusuf Dandi Asih, kebijakan ini bukan hanya soal penyediaan hunian, tetapi menyangkut masa depan ruang hidup dan identitas ekologis Kabupaten Kuningan.
Mereka menilai, pencabutan moratorium dilakukan tanpa kesiapan instrumen tata ruang yang memadai.
Alih-alih berbasis kajian, keputusan ini justru berpotensi memicu kerusakan ekologis dan merusak jejak budaya kawasan strategis Kuningan.
Hingga kini, Pemerintah Kabupaten Kuningan masih menggunakan Perda RTRW 2011–2031, regulasi yang dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan realitas pertumbuhan penduduk dan kebutuhan ruang masa kini. DPRD sendiri telah menyatakan perlunya pembaruan dokumen perencanaan.
Namun, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sebagai panduan zonasi teknis belum sepenuhnya disahkan dan sebagian masih dalam tahap penyusunan.
Artinya, pembangunan perumahan sudah dilepas ke pasar ketika pedoman pengendalian ruang masih belum lengkap.
“Tanpa fondasi tata ruang yang kuat, risiko alih fungsi kawasan lindung, resapan air, mata air, dan lanskap budaya akan semakin nyata,” ujar Yudi.
BACA JUGA:Rumor City Football Group Dekati Persib Bandung, Begini Kata Pengamat Soal Peluang dan Risikonya
Kuningan: Wilayah Rentan Ekologi, Bukan Sekadar Lahan Investasi
Kuningan, kata Yusuf, dikenal sebagai daerah dengan kerentanan ekologis tinggi. Kawasan mata air, lereng rawan gerakan tanah, dan cadangan resapan air merupakan bagian penting dari infrastruktur ekologis yang menopang kehidupan masyarakat.
MPK menegaskan, pembangunan perumahan harus mengikuti prinsip kehati-hatian dan daya dukung lingkungan.