Hari Ini Paripurna TNGC, Deis : Evaluasi TNGC Tak Perlu Lewat Pansus

Hari Ini Paripurna TNGC, Deis : Evaluasi TNGC Tak Perlu Lewat Pansus

KUNINGAN – Sidang paripurna internal DPRD terkait pandangan umum (PU) fraksi-fraksi tentang Panitia Khusus (Pansus) Evaluasi TNGC akan digelar hari ini, Jumat (13/3). Meski tidak mengusulkan Pansus Evaluasi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Wakil Ketua DPRD dari Fraksi Gerindra-Bintang H Dede Ismail SIP MSi memastikan anggota fraksinya akan hadir. “Kami dari Fraksi Gerindra-Bintang seyogyanya hadir dalam paripurna besok (hari ini, red), ini karena mengikuti Tatib DPRD. Kami juga akan menyampaikan PU fraksi,” ungkap Dede Ismail saat ditemui Radar di ruangan kerjanya, Kamis (12/3). Lebih lanjut dikatakan Deis –panggilan akrabnya–  pada saat paripurna semua partai mempunyai pendapat, dan Partai Gerindra akan menyampaikan pendapat tersebut melalui fraksi. Namun demikian, ia menegaskan Fraksi Gerindra-Bintang tidak akan ikut ambil bagian dalam pembahasan di Pansus Evaluasi TNGC. “Di awal dalam rapat Banmus maupun rapim, fraksi kami menyampaikan tidak usah (TNGC) dipansus. Lebih baik duduk bersama, nanti ada bupati, pemerhati, BTNGC, penggiat lingkungan, para kepala SKPD, bila perlu semua yang terkait kita ajak bicara, diundang, kita diskusi. Jadi, fraksi kami kemungkinan tidak akan ikut ambil bagian dalam pembahasan pansus ini,” tegas Deis. Ia menambahkan, kalaupun TNGC harus dievaluasi, tidak harus melalui pansus, tinggal diubah saja kesepakatan kedua belah pihak antara BTNGC dengan Pemda Kuningan. Bagi DPRD, MoU kebijakan-kebijakan yang memang dirasa kurang berpihak kepada masyarakat sekitar lereng Ciremai, tinggal disampaikan saja kepada BTNGC. “Kami yakin Kementerian LHK melalui kepala BTNGC ini bukan aturan harga mati. Kalau aturan manusia itu kan ada kebijakan yang bisa dilakukan,” ujarnya. Tak mau kalah dengan Ketua Fraksi PDIP Dede Sembada, Deis pun menyampaikan aturan-aturan yang dijadikan dasar dalam pengelolaan hutan Gunung Ciremai. Wewenang dan keberadaan TNGC sendiri menurutnya, sudah sesuai dengan UUD 1945, Perppu Nomor 1 UU Nomor 5/1990, UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, UU Nomor 5/1994 tentang Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati, UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan jo UU Nomor 19/2004, UU Nomor 10/2009 tentang Kepariwisataan, UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian juga ia menyebut ada UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan, UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang-Undang Nomor 9/2015, UU Nomor 21/2014 tentang Panas Bumi, UU Nomor 9/2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan UU Nomor 17/2019 tentang Sumber Daya Air. Kemudian dasar hukum pengelolaan hutan Ciremai dalam Peraturan Pemerintah (PP), Deis menyebut ada PP Nomor 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, PP Nomor 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, PP Nomor 45/2004 tentang Perlindungan Hutan jo PP Nomor 60/2009, PP Nomor 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan, PP Nomor 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan jo PP Nomor 3/2008, PP 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional jo PP Nomor 13/2017. Lalu PP Nomor 36/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, PP Nomor 28/2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam jo PP Nomor 108/2015, PP Nomor 27/2012 tentang Izin Lingkungan, PP Nomor 12/2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kehutanan, dan PP Nomor 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Menteri (Permen), Deis menyebut ada sejumlah Permen yang menjadi dasar pengelolaan hutan Ciremai, di antaranya Kepmenhut Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, Permenhut Nomor P.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar jo Permenhut Nomor P.53/Menhut-II/2014, Permenhut Nomor P.20/Menhut-II/2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan, Permenhut Nomor P.36/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Penetapan Rayon di Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam dan Taman Buru dalam Rangka Pengenaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Bidang Pariwisata Alam. Lalu Permenhut Nomor P.38/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara dan Persyaratan Kegiatan Tertentu Pengenaan Tarif Rp.0,00 (Nol Rupiah) di Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru dan Hutan Alam, Permenhut Nomor P.48/menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Permenhut Nomor P.81/menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Inventarisasi Potensi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Permenhut Nomor P.85/menhut-II/2014 tentang Tata Cara Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam jo Permen LHK Nomor P.44/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017, serta banyak Permen lainnya. Ada pula berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal PHKA/KSDAE (Perdirjen PHKA / KSDAE), di antaranya Perdirjen PHKA Nomor P.2/IV-SET/2011 tentang Pedoman Pemberian Tanda Batas Areal Pengusahaan Pariwisata Alam di Taman Nasional, Taman Hutan raya dan Taman Wisata Alam, Perdirjen PHKA Nomor P.3/IV-SET/2011 tentang Pedoman Penyusunan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam jo Perdirjen PHKA Nomor P.5/IV-SET/2015, Perdirjen PHKA Nomor P.01/IV-SET/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengusahaan Pariwisata Alam, Rencana Karya Lima Tahun dan Rencana Karya Tahunan Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam. Kemudian Perdirjen PHKA Nomor P.02/IV-SET/2012 tentang Pembangunan Sarana Pariwisata Alam di Taman Nasional, Taman Hutan raya dan Taman Wisata Alam, Perdirjen PHKA Nomor P.06/IV-SET/2012 tentang Pedoman Pengawasan dan Evaluasi Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, Perdirjen PHKA Nomor P.22/IV-SET/2014 tentang Pelaksanaan Pengawasan Evaluasi dan Pembinaan Pemanfaatan Air dan Energi Air di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, dan lain sebagainya. “Nah, hal-hal yang terkait wewenang TNGC ini semua juga kan didampingi juga peraturan lainnya. Ini menurut kami tinggal dievaluasi bersama saja, tidak harus melalui pansus. Kan bisa dengan komisi yang berkaitan dengan ini, sehingga kami menganggap tidak seurgen ini untuk dipansuskan,” sarannya lagi. Lebih lanjut Ketua DPC Partai Gerindra Kuningan ini mengungkapkan, sebenarnya ada hal lain yang lebih bisa difokuskan untuk ditindaklanjuti oleh DPRD sebagai kepanjangan tangan dari rakyat, salah satunya terkait penyelesaian warga terdampak megaproyek Waduk Cileuweung, khususnya untuk warga Desa Kawungsari Kecamatan Cibeureum yang hingga saat ini belum mendapatkan ganti rugi sebagai akibat lahan pemukiman mereka masuk dalam peta Waduk Cileuweung. “Waduk Cileuweung ini belum selesai, ada warga terdampak, yaitu Desa Kawungsari yang sampai sekarang belum mendapat ganti rugi, itu yang mestinya diutamakan dan harus dipansuskan, karena sangat urgen, ini jelas korbannya,” ungkap Deis. Terkait TNGC sendiri, ia menyatakan sepakat untuk mengembalikan kedaulatan pemerintah daerah, akan tetapi pembahasannya itu tidak harus melalui pansus. Hal itu bisa dilakukan dengan sinergitas semua pihak. “Komisi juga berwenang untuk melakukan membahasan ini. Anggaran kan sudah disiapkan oleh pemda. Kalau untuk pansus ini, saya belum tahu anggarannya, apakah sudah dianggarkan atau belum. Kalau nanti anggarannya diambil dari yang ada, ya mungkin dianggap sudah ada. Untuk anggaran pansus ini saya gak tahu persis, karena itu urusan Sekretariat DPRD, tanya aja ke Sekretariat, saya takut salah,” sebutnya. Ditanya apakah Fraksi Gerindra-Bintang tidak khawatir jika dikucilkan oleh 7 fraksi lainnya karena tidak ikut mengusulkan Pansus Evaluasi TNGC, menurutnya DPRD ini merupakan lembaga politik yang berlatar belakang berbeda-beda. Perbedaan pendapat dan pandangan di lembaga politik ini menurutnya biasa terjadi, termasuk di Senayan (DPR RI, red) juga sama. Berbeda pendapat itu, menurutnya tidak apa-apa, asalkan tujuannya baik, terlebih fraksi-fraksi itu jelas berbeda dapur, karena masing-masing partai punya kepentingan politik. Semua fraksi membawa kepentingan partai, membawa aspirasi rakyat dan memperjuangkannya. “Jadi, kalau fraksi kami berbeda pendapat dengan yang lain, itu kan hal yang wajar. Fraksi Gerindra-Bintang tidak menolak, hanya Fraksi Gerindra tidak akan ikut dalam pembahasan Pansus TNGC, artinya Fraksi Gerindra tidak akan mengirimkan anggota dalam pembahasan Pansus TNGC,” tegasnya lagi. Kendati demikian, Deis juga ikut mengkritik BTNGC. Ia bertekad akan memaparkan pandangan luasnya dengan mengajak bicara Kepala BTNGC Kuswandono. Ia akan menyarankan sekaligus memberikan masukan agar kepala BTNGC bisa mengevaluasi diri terkait kinerjanya selama ini. “Jangan mentang-mentang sebagai kepala BTNGC, lalu BTNGC ini mempunyai kewenangan penuh dalam mengelola lingkungan hutan Ciremai. Buktikan dong kalau BTNGC ada kegiatan penanaman berupa 1 juta pohon kek, atau 10 ribu pohon, sampai saat ini memang belum kelihatan gaungnya,” sindir Deis. Kemudian juga soal zonasi, Deis memberikan masukan agar BTNGC bisa memperjelasnya, termasuk juga soal koordinasi BTNGC baik vertikal maupun horizontal harus dilakukan lebih aktif lagi. “Artinya (BTNGC) dengan Bupati Kuningan juga harus bersinergi, toh tujuannya sama untuk membangun dan menjaga ekosistem. BTNGC juga harus mendengar masukan, seperti tidak terlalu kaku dengan aturan, lebih fleksibel, ada zona inti yang diproduksi untuk lahan gambut, kemudian harus ada penghijauan dalam rangka mencegah terjadinya erosi, dan lain sebagainya. Ini juga harusnya bisa dipublikasikan oleh BTNGC,” saran dia. Soal PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dari objek-objek wisata, termasuk juga titik-titik mata air di kawasan TNGC, menurut Deis agar BTNGC tidak merasa diberi kewenangan penuh oleh pemerintah pusat. “BTNGC harus menjalin komunikasi dengan jajaran pemerintahan daerah di sini, ada pemda, ada DPRD, dan lain sebagainya, jangan kaku lah. Jangan keukeuh merasa saya diberi kewenangan oleh pemerintah pusat. Harus memberikan contoh yang baik, terima semua masukan masyarakat, terima karena itu akan menjadi sesuatu yang baik. Termasuk masukan dari pemerintahan daerah, baik itu eksekutif maupun legislatif,” sarannya lagi. Pihaknya berharap semua berjalan baik-baik saja untuk duduk bersama, berlaku lebih arif dan bijak, terlebih BTNGC juga memiliki niatan baik untuk menciptakan ekosistem yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk generasi penerus, yakni untuk anak cucu. “Kita jangan seperti makan cabai, sekarang dimakan langsung terasa pedasnya. Ini gak bisa, mungkin manfaatnya akan terasa 50 tahun mendatang, atau 100 tahun ke depan, saat ekosistemnya ini sudah lebih baik, mata rantai kehidupannya sudah seimbang, maka TNGC inilah yang berhasil menjaga ekosistem di wilayah Ciremai. Untuk sekarang beri kesempatan dulu lah untuk dikelola oleh BTNGC,” pinta Deis. (muh)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: