Sepi Pengunjung, Pengelola Tetap Rawat Gedung Naskah Linggarjati Bersejarah

Sepi Pengunjung, Pengelola Tetap Rawat Gedung Naskah Linggarjati Bersejarah

Sejak muncul pandemi Covid-19, objek wisata sejarah Gedung Perundingan Linggajati sempat ditutup beberapa bulan. Namun saat mulai dibuka beberapa pekan ini, gedung bersejarah itu masih saja sepi pengunjung. Agus Panther, Linggarjati NAMA Linggarjati sangat terkenal di seantaro Indonesia. Namanya masuk dalam buku sejarah perjuangan bangsa. Di desa yang berada di lereng Gunung Ciremai ini, berdiri kokoh saksi sejarah, Gedung Perundingan Linggarjati. Halaman gedung ini cukup luas. Lahan parkir juga cukup representatif. Diorama tentang perjanjian Linggarjati yang ditandatangani perwakilan Indonesia dan Belanda di dalam gedung, juga masih utuh persis ketika peristiwa itu berlangsung nun jauh puluhan tahun silam. Namun gedung yang biasanya banyak dikunjungi wisatawan baik lokal maupun mancanegara, sekarang meranggas. Ini tidak terlepas dari pandemi Covid-19 yang melanda Tanah Air dan juga dunia. “Kalau dibuka sih sudah, tapi ya itu harus hati-hati karena pandemi Covid-19. Jadi masyarakat juga aktivitasnya mungkin terbatas, objek-objek wisata lain mungkin sudah ramai,” kata Pengelola Gedung Perundingan Linggarjati Kuningan Sukardi saat ditemui awak media, Selasa (11/8). Kendati telah dibuka beberapa waktu lalu, Sukardi mengakui jika kunjungan museum bersejarah ini masih sepi. Sebab pengunjung paling banyak biasanya dari luar kota. “Museum ini masih sepi, karena kebanyakan pengunjung museum itu bukan dari wilayah setempat, tapi dari luar kota. Kalau pengunjung lokal paling kalangan pelajar, tapi kan sekolah belum dibuka,” ujarnya. Menurut dia, berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, jika menginjak bulan kemerdekaan biasanya museum menjadi salah satu objek wisata paling ramai kunjungan wisatawan. “Biasanya di bulan-bulan ini (kemerdekaan, red) biasanya ramai pengunjung. Sekarang yang datang bisa dihitung dengan jari. Tidak seperti ketika normal belum ada pandemi Covid-19. Kalau jumlah pengunjung yang datang sih ada, hanya bisa dihitung dengan jari,” katanya. Dalam sehari jumlah kunjungan sekitar 20 orang. Namun paling banyak sempat mencapai 50 orang. “Paling kalau sehari hanya 20 orang, paling banyak mungkin ada 50 orang. Ini mulai buka itu bulan kemarin, kita tutup itu sekitar 3 bulan lebih. Karena wisata di sini kan bukan area luar, tapi di dalam ruangan jadi kami harus jaga-jaga,” tandasnya. Walaupun sempat ditutup akibat pandemi Covid-19, pihaknya tetap melakukan perawatan dan perbaikan jika ada kerusakan di museum. Sebab tidak ada jadwal khusus untuk pemugaran dari pemerintah pusat maupun daerah. “Karena tidak ada jadwal pemugaran, paling kalau ada kerusakan sedikit-sedikit langsung diperbaiki. Kalau memang ada bagian-bagian yang rusak kita laporkan, langsung diantisipasi,” imbuhnya. Adanya keberadaan bangunan ini, masyarakat setempat sangat antusias. Sebab di samping monumen sejarah, museum ini dapat menghidupkan perekonomian masyarakat. Tentu dengan adanya kunjungan dari wisatawan bagi dalam maupun luar Kuningan. “Masyarakat bisa aktivitas menjual jasa baik ojeg, angkot, warung maupun penjual cinderamata. Warga juga turut membantu menjaga keamanan lingkungan, karena ini merupakan kebanggaan khususnya masyarakat Kabupaten Kuningan,” terangnya. Sebagai pengelola museum selama hampir 31 tahun, Ia berharap, agar keberadaan museum tetap dikelola, dirawat dan dikembangkan karena sebagai tempat bersejarah perjuangan bangsa Indonesia saat melawan penjajah. “Museum ini merupakan jati diri bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pejuang, nenek moyang kita yang rela berkorban jiwa dan raga demi kemerdekaan Indonesia. Kalau sampai dihilangkan, anak cucu kita ke depan mau mencari jati diri bangsanya ke mana, perlu ditanamkan sejarah-sejarah perjuangan nenek moyang kita agar tahu jati diri bangsanya,” pungkasnya. (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: