Pasca kepergian kakek Sun, ayah Peter kemudian melanjutkan pengobatan untuk sakit disentrinya. Dokter herbal Tionghoa dari Cirebon datang rutin untuk memeriksa kondisi Peter.
Dia pun merasa lebih baik meskipun ayahnya harus mengeluarkan banyak uang untuk terapinya. Selera makan yang meningkat membuat ia lebih cepat untuk pulih dan kuat. Peter bisa bermain dengan adiknya, An Nio dan Amir.
BACA JUGA:Sampai di-Review Nex Carlos, Seenak Apa Mie Get Cirebon? Yakin Nggak Ngiler untuk Mencoba?
Banyak anak-anak kecil dari masyarakat Cilimus yang tidak terselematkan karena orang tua mereka miskin dan tidak kuat membeli obat atau membayar dokter.
Pemerintah Kolonial tidak memiliki cukup banyak dokter dan obat-obatan untuk merawat serta mengobati masyarakat yang sakit.
Meskipun mereka mengeluarkan kebijakan Politik Etis, yang selalu dibanggakan, tapi pemerintah tidak cukup mengalokasikan dana untuk mendukung kesehatan masyarakat.
Perang Dunia I menyebabkan jalur transportasi untuk pengiriman kebutuhan pokok menjadi tidak lancar. Ledakan ekonomi pasca perang yang ditandai ekspor bahan baku tidak memperbaiki kondisi ekonomi di Belanda dan negara-negara koloninya.
Wabah disentri di Cilimus sangat parah sehingga anak bungsu tetangga Peter, Kwi Jin, tidak terselamatkan karena mereka tidak cukup punya uang untuk membeli obat.
Peter sendiri akhirnya sembuh dari disentri. Cukup lama, 3 bulan setelah meninggalnya Kakek Sun.
Begitulah kisah perjalanan masyarakat Tionghoa di Cilimus. Mereka juga turut menderita akibat wabah disentri yang mematikan. (*)