Peringatan Hari Kependudukan Dunia di Indramayu, Saatnya Mewujudkan Kesetaraan Gender yang Sejati
Di banyak tempat di Indonesia, kesetaraan gender masih menjadi masalah yang belum terselesaikan.--
Kesehatan juga menjadi aspek penting dalam mencapai kesetaraan gender. Pasalnya, perempuan sering menghadapi tantangan kesehatan yang unik, seperti kehamilan, persalinan, dan risiko penyakit tertentu.
Sayangnya, masih terdapat kesenjangan dalam akses terhadap layanan kesehatan yang memadai bagi perempuan, terutama di daerah pedesaan.
Berdasarkan data Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS Tahun 2022, perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun yang proses melahirkan terakhirnya di fasilitas kesehatan di perkotaan sebesar 93,76%, sementara di perdesaan sebesar 85,51%.
BACA JUGA:Redam Jejak Karbon, Bank Mandiri Terbitkan Kartu Debit dan E-money Plastik Daur Ulang
Data di atas menunjukkan adanya ketidaksetaraan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi antara wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia.
Ketidaksetaraan ini juga meningkatkan kerentanan perempuan dan anak perempuan terhadap praktik-praktik berbahaya dan kematian ibu yang sesungguhnya dapat dicegah.
"Diperlukan upaya yang lebih besar untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang setara terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas," kata Bonivasius.
Menurut Bonivasius, kesetaraan gender bukanlah sekedar isu perempuan, tetapi merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat.
Dia meyakini, melalui kerja sama yang kokoh antara pemerintah, lembaga pendidikan, sektor swasta, dan masyarakat sipil, Indonesia dapat mewujudkan kesetaraan gender yang adil.
BACA JUGA:Kerja Tim Pendata dan Metode Smartphone Jadi Kunci Pencapaian Target Pemutakhiran Data Keluarga 2023
"BKKBN bersama UNFPA berusaha mendorong akses dan peluang yang lebih setara bagi perempuan dan anak perempuan untuk memperkuat hak, pilihan, dan kemampuan mereka dalam membuat keputusan tentang kesehatan dan kehidupan seksual dan reproduksinya, serta meningkatkan kesadaran publik tentang ketidaksetaraan gender dan dampak buruknya terhadap perempuan dan anak perempuan," tandas Bonivasius.
Penegasan itu dikemukakan Bonivasius dengan mengambil potret perempuan di Indramayu yang masih menghadapi tantangan dalam mengakses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas.
Berdasarkan informasi yang diterima Bonivasius, masih banyak perempuan Indramayu yang bekerja sebagai pekerja migran, terutama ke negara-negara seperti Malaysia, Taiwan, dan Arab Saudi.
Migrasi pekerja wanita ini seringkali berhubungan dengan sektor pekerjaan domestik atau pekerjaan di sektor informal. Mereka dapat menghadapi risiko eksploitasi, pelecehan, dan kekerasan, serta kurangnya perlindungan hukum yang memadai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: