Desa Tertua di Majalengka Ini Sudah Ada Sejak Abad ke-12, Berjasa Besar dalam Piala Dunia 2002 dan 2006

Desa Tertua di Majalengka Ini Sudah Ada Sejak Abad ke-12, Berjasa Besar dalam Piala Dunia 2002 dan 2006

Desa Liangjulang, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Majalengka merupakan salah satu desa tertua yang sudah ada sejak Abad 12.-Wikimapia/Ist-radarkuningan.com

RADARKUNINGAN.COMDesa ini merupakan salah satu yang tertua di Kabupaten Majalengka. Sejak abad-12, Desa ini sudah berdiri. Banyak jasa yang telah diberikan baik kepada Indonesia maupun dunia.

Di antara jasanya kepada Indonesia adalah di zaman penjajahan Belanda, desa ini dijadikan tempat medan perang pasukan Ki Bagus Rangin melawan serdadu Belanda. 

Pertempuran pasukan Ki Bagus Rangin berlangsung sengit. Sungai Cimanuk dan belantara dari desa ini menjadi saksi abadi pejuang-pejuang yang gugur dalam perang tersebut. 

Jasa lain, desa ini memiliki aset penting dalam industri sepakbola dunia. Di desa ini telah berdiri industri yang memproduksi bola sepak.

BACA JUGA:Alasan Kenapa Tol Cisumdawu Dibangun Terowongan Kembar, Bukit Tidak Bisa Diratakan karena Makam Keramat?

Perusahaan ini dimiliki dan dirikan oleh duet suami-istri. Keduanya mengembangkan industri sepak bola yang akhirannya mendunia.

Perusahaan ini memproduksi puluhan ribu buah bola setiap bulannya. Bahkan, bola sepak buatan desa ini pernah menjadi bola sepak resmi Piala Dunia 2002 Korea Selatan dan Piala Dunia 2006 Jerman. 

Namanya Desa Liangjulang. Desa ini masuk wilayah Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.

Liangjulang sudah ada sejak abad ke-12. Tempat ini awalnya masih menjadi bagian dari Desa Karangsambung. Liangjulang menginduk ke desa itu atas perintah Demang Karangsambung.

BACA JUGA:5 Tanaman Hias yang Cocok Untuk Ruang Tamu, Ruangan Lebih Estetik dan Bikin Betah

Alasannya agar hubungan komunikasi lebih baik tapi terbentur jarak. Maklum pada waktu, antara Karangsambung dengan Liangjulang terasa jauh. Maka warga Liangjulang diminta pindah ke Jatiraga. 

Warga Liangjulang setidaknya harus rela menyerahkan upeti yang dikenal dengan istilah Susuk Gendung. Susuk Gendung berupa hasil-hasil pertanian harus diserahkan kepada Sang Demang. 

Setelah warga Liangjulang berkembang, maka mereka banyak yang kembali ke tempat asal. Mereka mengusulkan agar statusnya dipisahkan. Selama waktu tersebut mereka dianggap warga desa (Kademangan) Jatiraga. 

Usulan direspon baik para sesepuh mereka. SEperti Mbah Buyut Sipah, Mbah Buyut Sanu, Mbah Buyut Sijan, Mbah Buyut Wira dan Mbah Buyut Jami. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: