Di Zaman Belanda, Ada Sekitar 500 Orang Tionghoa Tinggal di Cilimus Kuningan, Tersebar di Jalan Utama

Di Zaman Belanda, Ada Sekitar 500 Orang Tionghoa Tinggal di Cilimus Kuningan, Tersebar di Jalan Utama

Foto suasana di sekitar Pasar Cilimus, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan yang pada zaman Belanda pernah menjadi tempat bermukim masyarakat Tionghoa dan warga lokal.-Yuda Sanjaya/Dok-radarkuningan.com

BACA JUGA:Temu Kader Pagelaran Anak Negeri Prabowo - Gibran di Bandung Membeludak, Ridwan Kamil Bilang Begini

Separuh warga Tionghoa itu menjalankan bisnis kecil. Lima belas persennya, hidup dari menanam padi, kacang dan bawang merah. Sementara sisanya bekerja di toko-toko. 

Mereka tinggal di pinggir jalan utama, sepanjang kurang lebih dua kilometer ke utara dan selatan. Orang Sunda sendiri tidak tinggal di jalan utama.

Mereka hidup di perkampungan yang dipisah oleh lapang, bukit dan sungai. Orang-orang Sunda ini bekerja sebagai buruh tani, kacang dan bawang.

Mereka juga menernak ayam dan kambing untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada juga yang berjualan buah-buahan, sayuran, sate dan makana kecil.

BACA JUGA:Begini Cara Membersihkan dan Membuang Kotoran Kucing dari Kotak Pasir Kucing dengan Mudah

Ayah Peter, bekerja sebagai pengepul kacang dan hidup berkecupan dari usahanya tersebut. Ketika harga kacang sedang ada di puncak pada 1919, Peter dilahirkan. 

Peter lahir tepat pada hari Jumat jam 6 pagi, dengan dibantu oleh Ibu Umbaran, seorang dukun bayi yang juga membantu kelahiran kakak perempuannya. 

Kakek Peter, Sun Hong Kok, adalah orang yang paling bahagia karena Peter adalah cucu laki-laki pertamanya. Liang Tek berarti “good morals,” moral yang baik. Sementara Sun adalah nama marganya. 

Sun Hong Kok kemudian mengundang tetangganya untuk mengadakan slametan. Karena hidup di Indonesia, maka mereka juga turut mengikuti adat masyarakat di sana.

BACA JUGA:Penting! Ini 6 Panduan Meninggalkan Kucing di Rumah, Agar Kucing Tidak Stres dan Depresi

Kehidupan antara warga etnis Tionghoa dan Sunda, kata Peter sangatlah harmonis. Dia kemudian merujuk pada kisah tentang Sunan Gunung Jati yang mempersunting putri Tionghoa, Putri Ong Tien.

Ketika Peter berusia satu tahun, ibunya membuka warung kecil yang menjual rokok, kretek, teh, kopi, gula, sabun dan perabotan rumah tangga. Ayah Peter membantu kakeknya yang punya relasi dengan para eksportir di Cirebon. 

Bi Sajem, adalah asisten rumah tangga keluarga Peter. Anak Bi Sajem, Amir adalah teman main Peter dan menjaganya ketika dia tidur. 

Saat berusia 2 tahun, Peter bermain dengan kakak perempuannya, An Nio serta dua orang sepupunya An Dun dan Ji Tiok di halaman tetangga rumahnya. Pamannya yang usil, Seng Goan, adik termuda ayahnya, berusia 15 tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: