Dari Kaki Gunung Ciremai, Dewi Kanti Kukuh Perjuangankan Masyarakat Adat dan Ajaran Sunda Wiwitan

Dari Kaki Gunung Ciremai, Dewi Kanti Kukuh Perjuangankan Masyarakat Adat dan Ajaran Sunda Wiwitan

Dewi Kanti Setianingsih penghayat Sunda Wiwitan.-Bangkitnya Kepercayaan Adat/Istimewa-radarkuningan.com

KUNINGAN, RADARKUNINGAN.COM - Namanya Dewi Kanti Setianingsih. Wanita berparas ayu ini tinggal di kaki Gunung Ciremai. Tepatnya di Cigugur Kabupaten KUNINGAN, Jawa Barat.

Dia bukan wanita biasa. Dewi Kanti lahir di Bandung, 3 Juli 1975 dan menjabat sebagai Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan.

Ini adalah lembaga negara yang independen untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia.

Yang menarik dari sosok yang akrab disapa Dewi Kanti ini, hingga kini masih setia memperjuangkan agama leluhur yakni menjadi penghayat kepercayaan ajaran Sunda Wiwitan.

BACA JUGA:Timnas Piala Dunia U-17 Mulai Berdatangan di Bandara Soekarno Hatta, Ada yang dari Kertajati?

Ketika banyak orang sudah pindah keyakinan, Dewi Kanti tetap menjadi Jati Sunda. Sebuah komunitas yang masih menjalankan ajaran Sunda Wiwitan. Ajaran dari Raja Pajajaran Prabu Siliwangi.

Dalam salah satu tulisan disebutkan, dia memiliki 9 saudara. Di antara mereka banyak yang sudah berbeda keyakinan. 

Kakak kandungnya ada yang menjadi pendeta agama Kristen. Ada yang beragama Katolik. Juga ada salah satu saudaranya beragama Islam. 

Tetapi dia tetap menjadi penghayat Sunda Wiwitan. Bersama-sama dengan komunitas Jati Sunda di Cigugur Kuningan.

BACA JUGA:Wow 5 Ribu Warga Kuningan Usaha Burjo di Jogjakarta, Ada 1.500 Warung Lebih

Padahal semua tahu, jika disebut dengan orang Sunda, biasanya identik dengan orang yang beragama Islam. 

Secara etno-religius, masyarakat Sunda memang identik beragama Islam. Termasuk masyarakat Sunda yang tinggal di Kabupaten Kuningan. Mayoritas menganut agama Islam.

Namun tidak dengan Dewi Kanti dan masyarakat komunitas Jati Sunda di Cigugur Kuningan Jawa Barat. Mereka tetap menjadi penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan.

Walau kepercayaan itu sudah ratusan tahun keberadaannya, namun sulit sekali mendapat pengakuan kesetaraan. Yang ada justru terus mengalami diskriminasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: