Cisantana, Kerisnya Orang Elit, Desa di Lereng Gunung Ciremai Ini, Didirikan Trio Mbah

Cisantana, Kerisnya Orang Elit, Desa di Lereng Gunung Ciremai Ini, Didirikan Trio Mbah

Sejarah Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan yang memiliki arti kata keris orang elit. -Yuda Sanjaya/Dok-radarkuningan.com

BACA JUGA:4 Larangan di Kawah Putih yang Perlu Diketahui, Ternyata Airnya Berbahaya

Untuk mengawasi gerak gerik Belanda, sesepuh memerintahkan kepada 2 orang pemberani. Yaitu, Eyang Panulisan dan Eyang Depok. 

Eyang Panulisan memiliki keahlian dalam bidang mencermati, sedangkan Eyang Depok sebagai jawara/pemberani. Bukti otentik adanya kedua tokoh ini yaitu adanya makam. 

Eyang Panulisan makamnya terletak di kdekat Gua Maria. Sementara makam Eyang Depok berada di Dukuh Daria. Wilayah ini sekarang masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC).

Desa ini juga dijajah oleh Jepang tepatnya pada tahun 1942. Jepang merusak pabrik teh yang didirikan oleh Belanda.

BACA JUGA:4 Potensi Cisantana, Desa di Lereng Gunung Ciremai Ini Layak Diperhitungkan

Kemudian, pada bekas pabrik teh itu dibangun menjadi pabrik air minum kemasan yang sampai saat ini puing-puingnya masih ada.

Ketika Indonesia merdeka, Cisantana belum menjadi desa. Pada 1936 Cisantana masih tergolong dusun dari desa Puncak. 

Desa Puncak ini memiliki 11 dusun. Yakni Puncak, Pakembaran, Dano, Ciwuni, Tarikolot, Cikondang, Mulya Asih, Palutungan, Santana, Babakan Mulya dan Sukamanah.

Pada tahun 1950-an bangsa Indonesia menghadapi pemberontakan-pemberontakan politik dan pemberontakan bersenjata. Desa Cisantana juga mengalami pengaruhnya.

BACA JUGA:Hati-Hati! Virus dari Kucing Ini Memiliki Risiko Berbahaya untuk Ibu Hamil

Pergolakan politik antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan gerakan separatis DI/TII memaksa warga kampung Palutungan direlokasi ke wilayah barat. Menjauh dari puncak Ciremai yang menjadi basis pertahanan tentara DI/TII.

Warga kampung Palutungan yang masih tersisa dari pembantaian massal dan pembakaran rumah oleh gerakan separatis DI/TII menyambut baik niat pemerintah untuk memindahkan ke area yang bersih dari jangkauan DI/TII. 

Kala itu, tahun 1954 warga Palutungan pindah secara sukarela ke arah barat lereng Ciremai. Dengan harapan dapat hidup aman dari gangguan tentara DI/TII.

Sejak pecahnya konflik bersenjata antara TNI Tentara dengan DI/TII, rakyat bersama Tentara Nasional Indonesia bahu-membahu mempersempit ruang gerak DI/TII. Puncaknya pada tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwiryo berhasil ditangkap.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: