Kisah Masa Lalu Masyarakat Tionghoa di Cilimus Kuningan, Akibat Wabah Disentri, Setiap Hari 1 Orang Meninggal

Kisah Masa Lalu Masyarakat Tionghoa di Cilimus Kuningan, Akibat Wabah Disentri, Setiap Hari 1 Orang Meninggal

Masyarakat di Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan pernah terserang wabah disentri di zaman penjajahan Belanda. -Yuda Sanjaya/Dok-radarkuningan.com

BACA JUGA:Dikenal Pemberani dan Tidak Mudah Sakit, Ini Dia 6 Manfaat Memelihara Kucing Kampung Sebagai Hewan Peliharaan

Kakek Sun menafsirkan mimpinya itu sebagai nasehat agar Peter harus segera pindah ke kamar tidurnya di sisi barat rumah, untuk menyelamatkan hidupnya. 

Kakek Sun menghabiskan waktu tiga minggu di kamar tidur Peter sebelum kemudian kondisinya semakin memburuk. 

Sang kakek akhirnya meninggal, di usia 64 tahun. Kesedihan tak hanya dirasakan oleh keluarga dan orang Tionghoa, tetapi juga semuanya. 

Bi Sajem, pembantu keluarga Peter, kemudian menggendong Peter untuk memberi penghormatan pada Kakek Sun. Peter melihat ayah, ibu, paman dan bibinya berlutut di depan peti mati dan perlahan membakar dupa.

BACA JUGA:5 Ciri Kucing Kampung Memiliki Karakter Menyenangkan dapat Dijadikan Hewan Peliharaan di Rumah

Setelah membungkuk beberapa kali untuk menunjukkan penghormatan, mereka kemudian mengelilingi peti mati mengikuti Biksu Buddha. 

Sang biksu berpakaian kuning. Juga membawa tasbih sembari menyampaikan puji-pujian Tionghoa dengan melankolis. Diiringi seruling serta alat musik tradisional yang disebut rebab. 

Di belakang peti, ada patung bambu duduk yang dibungkus dengan pakaian kakek Sun yang melambangkan kehadirannya. 

Keesokan harinya, banyak orang Tionghoa di sekitar rumah melantunkan puji-pujian dan dilihat oleh warga non Tionghoa. Setelah penghormatan terakhir dilakukan oleh keluarga, peti mati kakek dibawa ke pemakaman Tionghoa untuk dimakamkan.

BACA JUGA:Di Zaman Belanda, Ada Sekitar 500 Orang Tionghoa Tinggal di Cilimus Kuningan, Tersebar di Jalan Utama

Sepuluh orang yang berpakaian serba hitam, membawa spanduk kuning bertuliskan peribahasa dan ajaran Tionghoa. Semua berharap bahwa almarhum akan disambut oleh Tuhan Surga danBumi. 

Mereka berjalan perlahan di depan prosesi diikuti oleh seorang biksu dan dua musisi tradisional China. Di belakang biksu, dengan menggunakan baju dan ikat putih di kepalanya, ayah Peter berjalan perlahan. 

Dia membawa wadah dengan perlahan-lahan sembari membakar dupa di dalamnya. Anggota keluarga lain mengikuti peti mati sembari menangis. 

Setelah bergerak perlahan melewati Pecinan, tibalah di pemakaman. Di sana, sekelompok orang sedang menunggu mengubur peti mati dan kemudian upacara akhir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: